Di bawah naungan pepohonan yang setia berdiri di depan Taman Riyadhah, Lhokseumawe, Muhammad Amin menata cabai keriting di atas lapak kecilnya. Merahnya menyala seperti bara yang tak padam, pedas, segar, dan menyimpan cerita yang tak ikut terjual bersama timbangan. Setiap buah cabai seakan membawa jejak tanah, keringat, dan doa yang dipanjatkan sepanjang perjalanan.
Cabai-cabai itu datang dari Pondok Baru, Kabupaten Bener Meriah. Sebuah perjalanan yang tak lagi sekadar jarak, melainkan ujian. Jalan yang dahulu ramah kini retak dan terputus, Gunung Salak tak lagi menjadi penghubung yang bersahabat. Akhir November lalu, banjir bandang mengubah peta hidup banyak orang. Aspal longsor, jalur terputus, dan waktu seolah ikut terseret arus.
Di kampung, ladang tetap setia berbuah. Cabai tumbuh tanpa tahu bahwa jalan menuju pasar telah runtuh. Hasil pertanian melimpah, namun pembeli semakin langka.
Sementara di dapur, beras menipis, minyak makan menjadi barang yang harus diperjuangkan. Di antara kelimpahan dan kekurangan itulah Amin mengambil keputusan, meninggalkan rumah, menyusuri jalur yang tersisa, mempertaruhkan tenaga dan hari-harinya demi satu tujuan sederhana: memastikan keluarganya tetap bisa makan.
Di Lhokseumawe, cabai keriting itu ditawarkan seharga dua puluh lima ribu rupiah per kilogram. Harga yang bagi sebagian orang mungkin sekadar angka, namun bagi Amin adalah jembatan. Bukan tentang untung besar, melainkan tentang cukup. Cukup untuk membawa pulang beras, minyak, dan harapan yang bisa dimasak esok hari.
“Kalau cabai ini habis, saya bisa bawa pulang beras,” katanya pelan, nyaris tenggelam di antara suara kota.
Kalimat singkat, namun sarat makna. Di balik ucapannya, tersimpan kecemasan dan keteguhan yang tak perlu dirayakan.
Ia tak berniat bermalam. Begitu lapak kosong, ia akan kembali. Sembako di punggung sepeda motor menjadi bekal melawan ketidakpastian. Sejak jalan terputus, pangan bukan lagi perkara uang semata, melainkan soal keberanian dan ketahanan.
Ironisnya, ladang tak pernah berhenti memberi. Kelimpahan justru memaksa petani seperti Amin menjual murah, agar dapur tetap berasap. Di lapak kecil itu, ia tak hanya menjual cabai. Ia mengajarkan arti bertahan dalam diam, tentang bagaimana pedas bisa ditukar dengan harapan, dan bagaimana setiap kilogram cabai menyimpan doa yang ikut berpindah tangan.
Di balik rasa pedas yang menggigit lidah, ada perjalanan panjang yang menggigit hidup. Cabai itu bukan sekadar bumbu, melainkan jembatan sunyi antara ladang yang subur dan meja makan yang harus tetap terisi. (Muchlis Gurdhum)








