Siber Nusantara
  • News
  • Daerah
  • Pemerintah
  • Peristiwa
  • Featured
No Result
View All Result
Indeks
Siber Nusantara
  • News
  • Daerah
  • Pemerintah
  • Peristiwa
  • Featured
No Result
View All Result
Siber Nusantara
No Result
View All Result
  • News
  • Peristiwa
  • Daerah
  • Pemerintah
  • Featured

Di Antara Lereng Yang Luluh, Nabilatul Belajar Menemukan Rumah Untuk Pulang

"Kisah Batin Mahasiswa Perantauan Ketika Musibah Banjir Sumatera 2025"

MA by MA
11 Desember 2025
in Daerah, Featured, Nasional, News
A A

Di lereng Gunung Marapi, hidup selalu punya caranya sendiri untuk berbisik. Kadang lembut seperti desir angin yang turun dari puncak, kadang keras seperti gemuruh tanah yang tak lagi kuat menahan luka. Di sana, di sebuah tempat bernama Sungai Pua, tumbuh seorang perempuan muda bernama Nabilatul Khaira, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, yang tanah asalnya, Malalak, adalah hamparan masa kecil dan doa yang selalu ia bawa ke mana pun melangkah.

Namun pada 26 November 2025, tanah itu tiba-tiba bicara dengan bahasa yang paling pilu, galodo. Air bah dan lumpur yang tak diundang menerjang Toboh, Malalak Timur. Hari yang semula hanya berpayung rintik-rintik hujan berubah menjadi panggung kepanikan, ketika kaki langit tiba-tiba membuka pintu bagi air yang turun tanpa kompromi.

Baca juga

Polres Lhokseumawe Gelar Trauma Healing dan Pengobatan Gratis untuk Korban Banjir di Pante Gurah

11 Desember 2025

Polres Lhokseumawe Kerahkan Polairud Evakuasi Relawan dan Logistik Bantuan di Krueng Tingkeum Bireun

11 Desember 2025

Pagi itu hujan turun seperti kesedihan yang ditahan-tahan. Lama-lama, ia pecah juga. Sawah-sawah mendadak menjadi lautan, rumah-rumah tak lagi berdiri sebagai tempat pulang, dan suara-suara manusia menjadi samar ditelan air yang mengamuk.

Di rumah, ibu Nabila, adik, tante, dan empat anak kecil berlari sekencang hidup itu sendiri melewati hamparan sawah menuju Barecho, tempat yang lebih tinggi. Langit yang kelabu menyaksikan tubuh-tubuh kecil yang menggigil itu berjuang. Namun satu sosok tak ikut berlari. Nenek Nabila, Yusmaniar, yang saat itu masih berada di sawah.

Setelah itu, tak ada siapa pun yang tahu di mana beliau. Empat hari, nama Yusmaniar menjadi doa yang terus dikirim ke langit. Empat hari, rumah menjadi tempat menampung kegelisahan air mata yang jatuh tanpa suara, dan dada yang dihimpit bayangan kehilangan yang terlalu nyata.

Dan pada suatu malam, tanpa ia rencanakan, dari jarak nan jauh di Tanah Aceh, tempat dia menimba ilmu kini, jarinya sibuk mencari informasi melalui sinyal handphone. Nabila membuka Instagram salah satu akun media sosial daerahnya. Di sana, tertera sebuah nama: Yusmaniar, 66 tahun. Dunia seperti gemetar. Langit di perantauan seakan runtuh ke pangkuannya.

Namun orang di rumah berkata, “Nenek baik-baik saja.” sedangkan nenek Nabila berumur 77 tahun.

Entah itu untuk menenangkannya, atau karena mereka sendiri sedang tersesat di antara berita dan harapan.

Pada akhirnya, Alhamdulillah, nama itu bukan neneknya. Dan setelah enam hari, Nenek Yusmaniar ditemukan di pengungsian Lurah, desa tetangga. Lelah tapi selamat. Rapuh tapi masih diberi napas untuk kembali dipeluk.

Ketika keluarga pulang melihat keadaan rumah, mereka menemukan kenyataan yang pahit: rumah itu bukan lagi rumah. Hanya tumpukan tanah, sisa-sisa kehidupan yang telah tertimbun bersama kenangan yang tak sempat diselamatkan.

Sementara tante Nabila masih hidup dalam bayang-bayang peristiwa itu; jiwanya seperti rumah yang belum sempat dibersihkan dari lumpur trauma.

Ayah Nabila pun hampir menjadi berita duka yang lain. Jalan yang ia lewati di daerah Matur longsor tepat setelah ia lewat. Qadarullah, nasib baik menjemputnya sedetik sebelum maut ikut campur.

Dan di tengah semua itu, Nabila berada ratusan kilometer dari rumah. Jaringan telekomunikasi terputus. Suara keluarga yang biasanya menjadi jangkar, lenyap. Dunia menjadi senyap yang menusuk.

Pada malam hari kedua, ketika Nabila sedang duduk dengan hati yang serupa tanah lapang yang disapu angin dingin, teleponnya berdering. Nama itu muncul: Maam Dewi.

Suara lembut sang dosen menyelinap ke ruang hatinya yang retak-retak.

“Bagaimana keadaanmu, Nak?”

Pertanyaan sederhana yang menjelma seperti tangan yang menjulur dalam gelap. Malam itu Nabila menjawab sambil menahan goyah. Pusat banjir berada tepat di sekitar rumahnya. Ia tidak tahu bagaimana harus kuat, hanya tahu bahwa ia harus bertahan.

Keesokan harinya, Maam kembali bertanya: “Sudah makan? Bagaimana situasi di kampung?”

Di tengah stres, Nabila tetap menjawab. Di saat pikirannya kacau, ada seseorang yang mengingatnya.

Dan ketika teman satu paguyubannya masuk rumah sakit, Nabila yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama akhirnya menangis di sana, menangis bukan karena lemah, tetapi karena menanggung terlalu banyak dalam tubuh yang masih belajar menjadi dewasa.

Maam Dewi ikut menangis bersamanya. Padahal Maam sendiri sedang terdampak musibah.

Di titik itulah Nabila sadar, manusia memang makhluk yang paling rapuh, tapi juga paling indah ketika saling menguatkan.

Pada suatu malam, di sela kepanikan yang belum reda, Nabila merenung: “Banyak sekali yang terkena musibah. Bagaimana mereka? Bagaimana rumah mereka?”

Di saat pikirannya masih berkabut, Maam Dewi menerima bantuan, tanpa membuka donasi dan meminta Nabila membantu menyalurkannya agar tepat sasaran. Nabila hanya butuh satu detik untuk menjawab, “Iya, Maam,” ucapnya singkat.

Ia mengajak dua kawannya lagi. Maka mereka berlima, Nabila, dua kawannya, satu teman lain, dan Maam Dewi, turun menjadi jembatan bagi orang-orang yang kehilangan pijakan.

Pada hari pertama membagikan nasi, mereka melihat kenyataan yang menusuk. Jam telah menunjukkan pukul tiga sore, dan begitu banyak orang belum makan sejak pagi. Ada yang bahkan belum makan seharian. Wajah-wajah letih itu seperti cermin yang memantulkan luka Nabila sendiri.

Namun di balik luka itu, ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan, Syukur, Empati dan Kekuatan.

Dan seperti itu, Nabila menemukan bahwa di tengah rumah yang tertimbun lumpur, di tengah kabar yang jatuh berserakan seperti puing, masih ada ruang dalam dirinya yang justru menjadi terang ketika ia ikut menerangi orang lain.

Bencana memang merampas banyak hal. Rumah, barang, rasa aman, bahkan sebagian dari diri kita. Namun ia juga punya caranya sendiri menunjukkan siapa yang paling manusia di antara kita.

Dan Nabila gadis dari lereng Gunung Marapi akhirnya mengerti sesuatu. Bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak menangis. Bahwa kehilangan tidak selalu membuat kita hancur. Bahwa tangan-tangan yang terulur di saat gelap adalah bentuk paling nyata dari cinta.

Bahkan terkadang, untuk menemukan diri sendiri, seseorang harus terlebih dahulu kehilangan banyak hal. Di antara Galodo dan air mata, Nabila belajar bahwa manusia tidak diciptakan untuk berjalan sendirian. Karena seberat apa pun banjir merendam tanah, selalu ada seseorang yang datang membawa cahaya. Dan pada hari-hari itu, cahaya itu bernama: keluarga, kawan, dan tempat pulang yang muncul ketika sedang hilang.(Muchlis Gurdhum)

Share235Tweet147Send

Konten terkait

Angkatan 26 Alumni Lemhanas RI Bantu Korban Banjir Aceh Utara

10 Desember 2025

Aceh Utara – Di tengah sisa genangan air dan lumpur paska banjir yang masih menutup sebagian permukiman di Kecamatan Samudera,...

Menembus Malam, Menyapa Luka: Kapolres Lhokseumawe dan Kisah Lhok Pungki yang Hilang Disapu Banjir

10 Desember 2025

LHOKSEUMAWE – Deru banjir yang melanda Aceh Utara bukan hanya merendam rumah dan sawah, tapi juga menghapus satu dusun Lhok...

Kapolres Lhokseumawe dan Ketua Bhayangkari Salurkan Bantuan Sembako untuk Dua Desa Terdampak Banjir dan Longsor di Nisam

10 Desember 2025

ACEH UTARA – Kapolres Lhokseumawe AKBP Dr. Ahzan, S.H., S.I.K., M.S.M., M.H. dan Ketua Bhayangkari Lhokseumawe Ny. Ita Ahzan kembali...

Polsek Dewantara Amankan Penyaluran Gas Elpiji 3 Kg bagi Warga Terdampak Banjir

10 Desember 2025

Aceh Utara — Dalam upaya membantu warga yang terdampak pasca banjir, penyaluran gas Elpiji 3 kilogram untuk masyarakat Kecamatan Dewantara...

Terbaru

Di Antara Lereng Yang Luluh, Nabilatul Belajar Menemukan Rumah Untuk Pulang

11 Desember 2025

Polres Lhokseumawe Gelar Trauma Healing dan Pengobatan Gratis untuk Korban Banjir di Pante Gurah

11 Desember 2025

Trending

  • Tempuh Medan Berat, Kapolres Lhokseumawe Tinjau Lhok Pungki yang Hilang Disapu Banjir

    590 shares
    Share 236 Tweet 148
  • Nonton Film Tuhog 2023, Kisah Perselingkuhan Seorang Istri Tentara dengan Ayah Mertua

    1089 shares
    Share 436 Tweet 272
  • Kapolres Lhokseumawe Tegaskan Larangan Naikkan Harga Saat Banjir, Pedagang Akui Takut Jual di Atas Harga Wajar

    590 shares
    Share 236 Tweet 148
  • Kapolres Sentuh Kelompok Rentan : Lansia di Blang Panyang Terima Bantuan

    588 shares
    Share 235 Tweet 147
  • Menembus Daerah Terisolir : Bantuan Kapolres Lhokseumawe Tiba di Riket Jabal Antara

    588 shares
    Share 235 Tweet 147
Siber Nusantara

Media Siber Nusantara mengabarkan informasi ke genggaman Anda.

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Privasi

© 2024 Siber Nusantara - Proudly powered by Altekno Digital Multimedia.

No Result
View All Result
  • News
  • Peristiwa
  • Daerah
  • Pemerintah
  • Featured

© 2024 Siber Nusantara - Proudly powered by Altekno Digital Multimedia.

OKRUMMY OKRUMMY OKRUMMY OKRUMMY OKRUMMY OKRUMMY GB777 slot gacor GB777 GB777 slot gacor GB777 slot gacor oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro oklaro Slot Gacor Slot Gacor