Jakarta — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kerap kesulitan melakukan tugasnya dalam menangani krisis, termasuk konflik Israel-Palestina karena badan dunia tersebut tidak bisa selalu melakukan intervensi terhadap suatu negara, kata Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia Valerie Julliand.
“PBB beranggotakan 193 negara. Apa yang kami lakukan sebagai perwakilan PBB, mandat, tindakan kami ditentukan oleh negara-negara anggota,” kata Julliand kepada wartawan di sela-sela acara Hari PBB di Jakarta, Selasa.
“Ketika PBB tidak bisa melakukan intervensi, itu bukan karena staf PBB tidak mau, tetapi karena negara anggotanya tidak menyetujuinya,” sambung dia.
Dia lebih lanjut menyampaikan bahwa PBB sulit untuk melakukan tugasnya dalam situasi kritis karena Dewan Keamanan tidak dapat menyepakati resolusi yang akan memungkinkan intervensi yang lebih cepat dan lebih efektif. Dewan Keamanan merupakan badan tertinggi PBB yang bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Namun, Julliand menuturkan bahwa PBB memiliki tanggung jawab untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, meskipun terkadang tidak memiliki sumber daya yang cukup.
Menurut dia, PBB juga tetap penting dan relevan karena dapat menggunakan suaranya untuk membela hak-hak orang yang tertindas.
“Suara PBB terkadang tampaknya lemah, tetapi telah berhasil membawa perubahan di dunia,” ujarnya.
“Dalam krisis Palestina, dunia belum menemukan konsensus tentang cara untuk menyelesaikannya. Dan itu sangat buruk karena menyebabkan penderitaan bagi ratusan, ribuan, dan jutaan warga Gaza,” lanjutnya.
Perang di Gaza terus berlanjut menyusul bombardemen Israel ke wilayah kantong Palestina itu. Krisis kemanusiaan juga dilaporkan sudah parah karena blokade dan keputusan Israel memutus listrik, air, makanan dan pasokan lainnya ke Gaza.
Meski aliran bantuan kemanusiaan sudah mulai memasuki Gaza, PBB menyebut jumlah itu masih jauh dari mencukupi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Dewan Keamanan PBB juga telah mengadakan sidang darurat pada pekan lalu untuk membahas serangan Israel di Gaza sekaligus melakukan pemungutan suara atas rancangan resolusi tentang konflik Israel-Palestina.
Namun, Dewan Keamanan gagal menyepakati resolusi yang menyerukan jeda kemanusiaan di Gaza karena veto dari Amerika Serikat.
AS adalah salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB bersama dengan Prancis, China, Rusia, dan Inggris. Anggota tetap memiliki hak veto atau hak untuk menolak atau membatalkan suatu resolusi yang diajukan.
Dewan Keamanan PBB sebelumnya telah menghasilkan sejumlah resolusi terkait konflik Israel-Palestina, di antaranya Resolusi 242 (1967) yang menyerukan penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki setelah Perang Enam Hari dan Resolusi 1397 (2002) yang menyerukan penghentian kekerasan dan memulai proses perdamaian untuk mendirikan dua negara yang berdampingan dalam batas yang diakui.
Namun, resolusi-resolusi ini tidak berhasil menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketidaksepakatan tentang batas-batas negara Palestina dan hak veto AS.
Amerika Serikat adalah sekutu Israel, dan mereka sering menggunakan hak veto mereka untuk memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendukung Palestina.[]